Suatu ketika, aku bersama teman-teman menyempatkan diri mampir ke
kawasan Bromo di sela-sela tugas ke Malang. 'Sambil menyelam minum susu'
lah …. Seperti umumnya (mungkin) wisatawan domestik maupun manca negara
yang mengunjungi kawasan Bromo adalah berburu sunrise dalam balutan udara dingin yang menusuk. Entah karena latah, atau memang “terpaksa” mengikuti tour guide yang sudah di-booking, kami pun harus melakukan “perburuan” juga.
Tidak mudah untuk dapat mencapai spot favorit untuk menikmati
gurat cakrawala menyongsong “bangun”nya sang mentari, yakni Penanjakan.
Untuk sampai ke sana kita harus naik Jeep dari pos peristirahatan dengan
tarif sewa Rp 600-700 ribuan dengan muatan 5-6 orang. Kenapa harus naik
Jeep? Ya, meskipun seandainya kita bawa mobil sangat bagus dan mumpuni
sekalipun, kita “terpaksa” harus naik Jeep juga karena kendaraan yang
kita bawa tidak akan diijinkan naik ke sana. Ada aturan tidak tertulis
yang melarang pengunjung membawa mobilnya naik ke atas penanjakan. Kita
harus naik Jeep milik penduduk yang sudah tergabung dalam persatuan
pemilik Jeep di sana kalau tidak ingin menguras tenaga dengan berjalan
kaki menyusuri jalan menanjak dalam jarak yang cukup jauh.
Oh, iya, sebenarnya bukan masalah naik Jeep yang ingin aku ceritakan di
sini. Yah … soal “menyambut matahari terbit” yang menjadi incaran
umumnya para pengunjung. Waktu itu, aku dan teman-teman hanya sampai ke
Penanjakan II, sedikit lebih naik dari Bukit Cinta. Jalanan menanjak
sempit berbatu (karena aspal sebagian besar sudah terkelupas) sudah
sangat padat oleh Jeep yang parkir dan para pengunjung. Hawa dingin khas
pegunungan menyelinap ke dalam jaket tebal yang aku kenakan. Waktu di
smartphone (soalnya tidak punya jam tangan) menunjukkan pukul 03:39 Jeep
yang kami tumpangi berhenti di Penanjakan II karena sudah tidak
memungkinkan lagi untuk terus naik ke Penanjakan I (kata sopir Jeep dan
dikuatkan oleh tour guide yang duduk di sebelahku).
Angin gunung menghempas kuat melekatkan dingin di sekujur tubuh. Beberapa orang nampak menghangatkan diri dengan memesan kopi atau teh panas kepada para penjaja di pinggiran jalan setapak. Ada pula yang menerima tawaran sewa jaket dari peduduk setempat dengan tarif Rp 35 ribu hingga matahari terbit. Sebagian orang, termasuk aku dan teman-temanku, belum beranjak menuju spot terbaik untuk menyambut sunrise, karena tour guide menyarankan agar tidak ke sana dulu. Alasannya karena di sana anginnya lebih kuat sehingga hawanya jauh lebih dingin. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai bergerak menuju titik pandang karena semburat jingga mulai nampak di ufuk timur.
Benar saja, angin terasa lebih kencang. Aku mencari-cari tempat yang
nyaman karena sudah penuh sesak. Aku harus mendapatkan moment yang indah
dan itu artinya harus mencarai tempat yang tepat. Aku melihat beberapa
orang berada di lereng yang cukup terjal. Aku mencoba mengikuti naik,
dan … beruntung ada tempat yang cukup nyaman di ketinggian. Di situ
berkumpul beberapa “bule” dengan kameranya. Beberapa orang hanya duduk
sambil ngobrol dengan temannya, tapi wajah mereka tetap menghadap arah
matahari terbit!
Kaki langkit makin nampak kuning kemerahan dan matahari tak lama lagi
akan nampak. Orang-orang berdesakan mencari posisi paling nyaman untuk
mengabadikan terbit matahari dari lereng bukit. Sebagian lain masih
mencari-cari tempat yang diinginkan. Udara dingin dan kencangnya
hembusan angin membuat tanganku seperti kesemutan. Matahari pun mulai
memperlihatkan kilaunya dari balik bukit. Semburat sinarnya mulai terasa
hangat. Orang-orang dengan kamera ataupun smartphone yang dibawanya
seakan tak ingin kehilangan moment yang mereka tunggu.
Matahari telah menampakkan diri seratus persen dan terus beranjak naik.
Cahayanya berpendaran membagikan kehangatan. Alam mulai nampak
benderang. Orang-orang yang tadi berkerumun mulai beranjak pergi seperti tetes-tetes embun yang menguap kena sinar matahari. Di
lereng yang sesungguhnya cukup curam, aku melihat sekeliling mencari apa
yang pernah aku lihat melalui foto-foto di internet. Ternyata ada di sebelah selatan,
di bawah lereng tempat aku berpijak. Dari tempatku berdiri terlihat kawah Bromo
dengan asap mengepul dan gunung Batok di sampingnya. Jauh di belakangnya
nampak menjulang puncak Gunung Semeru. Subhanallah, pemandangan yang
sangat menakjubkan! Sejenak kemudian, aku tersadar bahwa tak ada
teman-teman serombongan di sekitarku ... {}